Parade militer China pada Rabu, 3 September 2025, menjadi salah satu peristiwa internasional yang menyita perhatian dunia. Acara megah ini tidak hanya dihadiri oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, tetapi juga Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto. Kehadiran para pemimpin dunia dalam parade tersebut menandai pentingnya posisi China di panggung geopolitik global.
![]() |
Gambar. Presiden Prabowo pada Acara Parade Militer China 2025 |
Kehadiran Presiden RI Prabowo Subianto bersama Vladimir Putin dan Kim Jong Un dalam parade militer China jelas memicu reaksi beragam dari dunia internasional. Presiden Donald Trump, melalui pernyataannya, bahkan menuding adanya kerja sama rahasia atau konspirasi yang bisa mengancam kepentingan Amerika Serikat.
Trump menulis pesan dengan nada sindiran:
“Semoga Presiden Xi dan rakyat China yang luar biasa merayakan hari perayaan yang agung dan abadi. Mohon sampaikan salam hangat saya kepada Vladimir Putin dan Kim Jong Un, saat kalian berkonspirasi melawan Amerika Serikat.”
Pernyataan ini sontak menjadi sorotan media global. Bagi Washington, kedekatan para pemimpin dunia dengan Beijing dianggap sebagai sinyal meningkatnya pengaruh China di kawasan Asia maupun dunia. Namun, jika ditarik ke belakang, sorotan Amerika terhadap kunjungan pemimpin Indonesia ke China bukanlah hal yang baru.
Kunjungan Bersejarah Soekarno ke China Tahun 1956
Pada 30 September 1956, Presiden Soekarno melakukan kunjungan resmi ke Beijing. Momen ini menjadi salah satu titik penting dalam hubungan diplomatik Indonesia-China. Sambutan yang diberikan kepada Soekarno kala itu begitu meriah dan penuh kehormatan.
Gambar. Kunjungan Presiden Soekarno ke China
Menurut laporan Harian Kedaulatan Rakyat edisi 1 Oktober 1956, setibanya di bandara, Soekarno langsung dijemput oleh dua pemimpin besar China, yakni Mao Zedong dan Zhou Enlai. Dari bandara, Soekarno diarak menggunakan mobil terbuka melewati jalanan Beijing sejauh 15 kilometer.
Ratusan ribu warga China berdiri di sepanjang jalan sambil membawa foto Soekarno serta poster bertuliskan “Selamat datang dan merdeka”. Sambutan itu disertai teriakan penuh semangat yang mencerminkan persahabatan mendalam antara kedua bangsa.
Bagi rakyat China, kedatangan Soekarno adalah simbol solidaritas Asia-Afrika, mengingat Indonesia sebelumnya sukses menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Namun bagi Amerika Serikat, momen ini menimbulkan kekhawatiran besar.
Sorotan CIA: Indonesia di Tengah Perang Dingin
Pada masa itu, dunia berada dalam ketegangan Perang Dingin (1945–1990) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia, sebagai negara besar di Asia Tenggara, dipandang sebagai wilayah perebutan pengaruh. Washington tentu tidak ingin Indonesia jatuh ke dalam orbit komunisme.
Kunjungan Soekarno ke China menjadi pantauan khusus CIA (Central Intelligence Agency). Fakta ini baru terungkap ketika dokumen rahasia CIA dipublikasikan pada 2003. Dalam laporan berjudul “Sukarno’s Visit to Peiping”, badan intelijen itu mencatat detail kunjungan Soekarno ke 17 kota di China selama dua minggu.
Salah satu poin penting yang disorot adalah sikap Soekarno yang tampak mendukung klaim China atas Taiwan. CIA menuliskan bahwa Soekarno, dalam berbagai pidato, menekankan aspirasi bersama rakyat China dan Indonesia. Ia bahkan mendukung tujuan Beijing untuk mencaplok Taiwan serta menyebut persahabatan Indonesia-China sebagai hubungan yang “tak tergoyahkan”.
Sikap Soekarno dan Pandangan Amerika
Taiwan sejak 1925 memang menjadi wilayah sengketa antara Beijing dan Taipei. China menganggap Taiwan hanyalah provinsi yang membangkang, bukan negara merdeka. Dukungan Soekarno terhadap China jelas dipandang berbahaya oleh Amerika Serikat.
Dalam autobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), Soekarno mengakui bahwa Amerika tidak senang dengan langkah diplomatiknya.
“Mereka (AS) melihat kunjunganku ke Beijing dan Moskow adalah langkah yang salah,” tulis Soekarno.
Menurut Soekarno, Amerika bahkan memerintahkan media untuk membangun opini negatif terhadap dirinya. Dari sinilah muncul tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis, meskipun Soekarno menegaskan bahwa dirinya tetap religius dan tidak berpihak pada satu ideologi..
Poros Jakarta–Beijing–Pyongyang
Setelah kunjungan bersejarah itu, hubungan Indonesia dan China semakin erat. Bahkan, lahirlah poros baru dalam geopolitik Asia, yaitu Jakarta–Beijing–Pyongyang. Poros ini dianggap sebagai simbol kedekatan antara Indonesia, China, dan Korea Utara, yang sama-sama menolak dominasi Amerika Serikat di Asia.
Namun, hubungan mesra ini tidak berlangsung lama. Setelah kejatuhan Soekarno pada 1966, penggantinya, Presiden Soeharto, menutup pintu diplomasi dengan China. Alasannya tidak terlepas dari penolakan terhadap ideologi komunis serta peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hubungan diplomatik Indonesia-China pun resmi dibekukan selama lebih dari dua dekade, sebelum akhirnya dipulihkan kembali pada 1990.
Paralel dengan Situasi 2025
Jika ditarik benang merah, apa yang terjadi pada 2025 sejatinya memiliki kemiripan dengan situasi pada 1956. Kehadiran Presiden RI Prabowo Subianto di parade militer China bersama Vladimir Putin dan Kim Jong Un kembali memunculkan sorotan tajam dari Amerika Serikat.
Sejarah seakan berulang. Indonesia kembali berada di tengah tarik-menarik pengaruh kekuatan besar dunia. Washington tentu cemas jika Indonesia semakin condong ke arah Beijing, apalagi di tengah rivalitas global yang kian memanas.
Kesimpulan
Parade militer China pada 3 September 2025 bukan sekadar ajang unjuk kekuatan militer, melainkan simbol kebangkitan diplomasi Beijing di mata dunia. Kehadiran Presiden RI Prabowo Subianto, Vladimir Putin, dan Kim Jong Un menunjukkan bahwa China semakin dipercaya sebagai mitra strategis oleh sejumlah negara.
Namun, reaksi keras Amerika Serikat melalui Donald Trump membuktikan bahwa kecurigaan Washington terhadap kedekatan Indonesia dan China masih sama kuatnya seperti pada masa Soekarno.
Sejarah mencatat, kunjungan Soekarno ke Beijing pada 1956 pernah diawasi ketat CIA dan dijadikan alasan untuk melekatkan stigma komunis padanya. Kini, di era modern, sorotan serupa kembali terjadi, menegaskan bahwa Indonesia tetap menjadi aktor penting dalam percaturan politik global. ***
Posting Komentar untuk "Diam-Diam, Intelijen AS Pantau Perjalanan Presiden RI di China"